Tahun ini Pikko Land Development mengalokasikan dana senilai Rp 1 triliun hingga Rp 1,5 triliun untuk belanja modal.
JAKARTA, KOMPAS.com - Nama Pikko Group mencuat tatkala mengakuisisi PT Royal Oak Development Tbk (RODA) akhir tahun 2011 dengan nilai Rp 26,88 miliar. Emiten properti tersebut kemudian bersalin rupa menjadi PT Pikko Land Development Tbk.
Dengan nama baru ini, Pikko lebih agresif melakukan ekspansi. Tak hanya mengembangkan properti sendiri, juga berkolaborasi dengan beberapa pengembang besar. Sebut saja Agung Podomoro Group, Lippo Group, Dua Mutiara Group, Istana Group dan Sahid Group.
Dengan nama baru ini, Pikko lebih agresif melakukan ekspansi. Tak hanya mengembangkan properti sendiri, juga berkolaborasi dengan beberapa pengembang besar. Sebut saja Agung Podomoro Group, Lippo Group, Dua Mutiara Group, Istana Group dan Sahid Group.
Sejak berdirinya pada 1982 hingga kini, Pikko memiliki lebih kurang 30 portofolio properti berbagai jenis yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Portofolio tersebut antara lain Sahid Sudirman Residence, Sudirman Park, Hampton's Park Golf View, dan Maple Park Golf View. Sementara The Plaza Semanggi, Thamrin City, Pluit Village, Tamini Square, Grand Mall Bekasi, Palembang Square, Plaza Medan Fair, Pasar Baru Bandung merupakan portofolio hasil kerjasama dengan pengembang lain.
Siapa di balik agresivitas Pikko? Dia tak lain adalah Nio Yantony. Posisinya sebagai Presiden Direktur, memungkinkan Nio melakukan langkah-langkah bisnis strategis. Di antaranya mengincar para pemegang lahan (land owner).
Terbukti, dengan strategi tersebut, saat ini total kapitalisasi pasar (market capitalization) Pikko sudah mencapai angka Rp 5,7 triliun. Tidak termasuk tabungan lahan yang belum dikembangkan seluas lebih kurang 40 hektar di lokasi-lokasi premium.
Terbukti, dengan strategi tersebut, saat ini total kapitalisasi pasar (market capitalization) Pikko sudah mencapai angka Rp 5,7 triliun. Tidak termasuk tabungan lahan yang belum dikembangkan seluas lebih kurang 40 hektar di lokasi-lokasi premium.
"Kami akan mengambil setiap peluang, termasuk bila ada yang menawari lahan di lokasi-lokasi incaran dengan proyeksi profit potensial," ujar Nio Yantony kepada Kompas.com, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Koleksi lahan, merupakan salah satu strategi bisnis yang mereka tempuh. Dengan tabungan lahan yang cukup di berbagai lokasi premium, Pikko dapat memproyeksikan konsep, keuntungan, pay back periode dan lain-lain lebih mudah dan pasti. Dari total 40 hektar cadangan lahan tersebut, 26 hektar di antaranya berada di Kemayoran, Jakarta Pusat, 4 hektar di Kawasan Sudirman, 5 hektar di Bekasi Barat, sisanya di beberapa kota lainnya.
Strategi lainnya yang kian meneguhkan eksistensi mereka adalah menjalin aliansi dengan pengembang besar. "Kami memiliki keyakinan, sebuah proyek berpotensi lebih berkembang bila dikerjasamakan dengan pengembang besar, maka kami putuskan untuk berkongsi. Dengan bekerjasama, risiko dan keuntungan dapat dibagi," jelas Nio.
Dalam setiap proyek kerjasama dengan pengembang besar, porsi Pikko bukanlah mayoritas. Sebaliknya, bukan pula hanya "ban serep" pelengkap. Pikko akan mengambil peran lebih dengan proyeksi signifikan. Pola kerjasama seperti ini, aku Nio, lebih menguntungkan.
Pikko akan mengambil peran sebagai leader bila pihak kedua yang diajak kerjasama memiliki kemampuan dan level setara. Sebut saja untuk proyek Sahid Sudirman Center. Ini merupakan proyek perkantoran jangkung pertama setinggi 52 lantai, di mana Pikko menjadi pemimpin. Mitra strategis yang terlibat dalam proyek ini adalah Sahid Group dan Dua Mutiara Group.
Selain Sahid Sudirman Center, saat ini, Pikko tengah mengerjakan Signature Park Grande di kawasan Cawang, dengan luas lahan 4 hektar, dan Botanica Garden Residence di Simpruk, Jakarta Selatan. Total belanja modal tahun 2013 sebesar Rp 1 triliun hingga Rp 1,5 triliun.
Sedangkan untuk pengembangan ke depan (future development), mereka bersiap merealisasikan tiga proyek baru. Dua di antaranya dikembangkan tahun ini. Ketiga proyek tersebut adalah Menteng 37 di Jakarta Pusat, apartemen di Bekasi Barat, dan Grand Kemayoran di Jakarta Pusat. Selain itu, mereka juga tengah mematangkan lahan di kawasan Sudirman yang akan dijadikan perkantoran dan apartemen.
Menteng 37 merupakan apartemen mewah dengan jumlah terbatas. Harga penawaran perdana di atas Rp 30 juta per meter persegi. Sedangkan apartemen di Bekasi Barat berklasifikasi menengah dengan harga penawaran dimulai dari Rp 14 juta per meter persegi. Kebutuhan dana untuk membangun dua proyek pertama sebesar Rp 1 triliun.
Sedangkan Grand Kemayoran merupakan nama sementara untuk proyek di Kemayoran, Jakarta Pusat. Ini merupakan superblok yang membutuhkan investasi besar dan pengembangan jangka panjang. Di dalamnya terdapat beberapa blok peruntukan residensial vertikal, blok perkantoran dan blok pusat belanja serta blok hotel dengan klasifikasi bintang 4 dan lima.
Koleksi lahan, merupakan salah satu strategi bisnis yang mereka tempuh. Dengan tabungan lahan yang cukup di berbagai lokasi premium, Pikko dapat memproyeksikan konsep, keuntungan, pay back periode dan lain-lain lebih mudah dan pasti. Dari total 40 hektar cadangan lahan tersebut, 26 hektar di antaranya berada di Kemayoran, Jakarta Pusat, 4 hektar di Kawasan Sudirman, 5 hektar di Bekasi Barat, sisanya di beberapa kota lainnya.
Strategi lainnya yang kian meneguhkan eksistensi mereka adalah menjalin aliansi dengan pengembang besar. "Kami memiliki keyakinan, sebuah proyek berpotensi lebih berkembang bila dikerjasamakan dengan pengembang besar, maka kami putuskan untuk berkongsi. Dengan bekerjasama, risiko dan keuntungan dapat dibagi," jelas Nio.
Dalam setiap proyek kerjasama dengan pengembang besar, porsi Pikko bukanlah mayoritas. Sebaliknya, bukan pula hanya "ban serep" pelengkap. Pikko akan mengambil peran lebih dengan proyeksi signifikan. Pola kerjasama seperti ini, aku Nio, lebih menguntungkan.
Pikko akan mengambil peran sebagai leader bila pihak kedua yang diajak kerjasama memiliki kemampuan dan level setara. Sebut saja untuk proyek Sahid Sudirman Center. Ini merupakan proyek perkantoran jangkung pertama setinggi 52 lantai, di mana Pikko menjadi pemimpin. Mitra strategis yang terlibat dalam proyek ini adalah Sahid Group dan Dua Mutiara Group.
Selain Sahid Sudirman Center, saat ini, Pikko tengah mengerjakan Signature Park Grande di kawasan Cawang, dengan luas lahan 4 hektar, dan Botanica Garden Residence di Simpruk, Jakarta Selatan. Total belanja modal tahun 2013 sebesar Rp 1 triliun hingga Rp 1,5 triliun.
Sedangkan untuk pengembangan ke depan (future development), mereka bersiap merealisasikan tiga proyek baru. Dua di antaranya dikembangkan tahun ini. Ketiga proyek tersebut adalah Menteng 37 di Jakarta Pusat, apartemen di Bekasi Barat, dan Grand Kemayoran di Jakarta Pusat. Selain itu, mereka juga tengah mematangkan lahan di kawasan Sudirman yang akan dijadikan perkantoran dan apartemen.
Menteng 37 merupakan apartemen mewah dengan jumlah terbatas. Harga penawaran perdana di atas Rp 30 juta per meter persegi. Sedangkan apartemen di Bekasi Barat berklasifikasi menengah dengan harga penawaran dimulai dari Rp 14 juta per meter persegi. Kebutuhan dana untuk membangun dua proyek pertama sebesar Rp 1 triliun.
Sedangkan Grand Kemayoran merupakan nama sementara untuk proyek di Kemayoran, Jakarta Pusat. Ini merupakan superblok yang membutuhkan investasi besar dan pengembangan jangka panjang. Di dalamnya terdapat beberapa blok peruntukan residensial vertikal, blok perkantoran dan blok pusat belanja serta blok hotel dengan klasifikasi bintang 4 dan lima.
Pikko Land Ekspansi Rp 1,4 Triliun
JAKARTA – PT Pikko Land Development Tbk (RODA), unit usaha Pikko Group, kelompok usaha yang dikendalikan oleh pengusaha properti Nio Yantony, siap menginvestasikan dana sebesar Rp 1,4 triliun untuk menggarap sejumlah proyek properti di Jakarta tahun ini.
Pikko Land akan membangun sejumlah bangunan tinggi (high rise) antara lain menara kembar (twin tower) Sahid Sudirman Center, Sudirman Apartment, dan Menteng37 Apartment.
Untuk pengembangan twin tower Sahid Sudirman Center, Pikko Land bermitra dengan Grup Sahid milik Sukamdani Gitosardjono. Menara perkantoran setinggi 50 lantai ini menjadi bagian dari megaproyek Grup Sahid di kawasan perhotelan bintang lima, apartemen, dan perkantoran di kawasan Sudirman.
Sedangkan Menteng37 Apartement adalah proyek baru dari Pikko Group di atas lahan seluas 5.500 meter persegi (m2), di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Investasi untuk proyek ini sebesar Rp 400 miliar. Pemasarannya baru akan dimulai akhir tahun ini.
Pikko Land akan membangun sejumlah bangunan tinggi (high rise) antara lain menara kembar (twin tower) Sahid Sudirman Center, Sudirman Apartment, dan Menteng37 Apartment.
Untuk pengembangan twin tower Sahid Sudirman Center, Pikko Land bermitra dengan Grup Sahid milik Sukamdani Gitosardjono. Menara perkantoran setinggi 50 lantai ini menjadi bagian dari megaproyek Grup Sahid di kawasan perhotelan bintang lima, apartemen, dan perkantoran di kawasan Sudirman.
Sedangkan Menteng37 Apartement adalah proyek baru dari Pikko Group di atas lahan seluas 5.500 meter persegi (m2), di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Investasi untuk proyek ini sebesar Rp 400 miliar. Pemasarannya baru akan dimulai akhir tahun ini.
Target kami masuk 10 besar
Oleh Nio Yantony - Rabu, 25 April 2012 | 09:24 WIB
Perlu saya jelaskan dulu, bahwa Pikko Group ini tidak ada hubungannya dengan Bank Century (sekarang Bank Mutiara) meskipun dulu ada nama Bank Pikko dalam pembentukan Bank Century. Kami perusahaan properti, berdiri 1982 di Jakarta, dan punya lebih dari 30 proyek yang semuanya cukup berhasil.
Kapitalisasi pasar kami sekarang sekitar Rp 4 triliun–Rp 5 triliun. Sebagai gambaran, sekarang, Group Lippo punya kapitalisasi pasar sekitar Rp 19 triliun dan menjadi yang terbesar di industri properti. Kapitalisasi pasar Agung Podomoro sekitar Rp 8 triliun.
Memang, kami belum masuk 10 besar, tapi banyak proyek kami yang tergolong sukses, antara lain Sahid Sudirman Residence, Sudirman Park, Hampton’s Park Golf View, dan Maple Park Golf View. Ada juga Thamrin Residence, Thamrin City, serta Villa Permata Gading. Ada pula pusat perbelanjaan seperti The Plaza Semanggi, Pluit Village, Tamini Square, Grand Mall Bekasi, dan Kramat Jati Indah Plaza. Di luar itu, masih ada beberapa landbank di Jakarta.
Di luar Jakarta, Pikko Group punya The Aryaduta Hotel Palembang, Palembang Square, Plaza Medan Fair, Hyatt Regency Bandung, Pasar Baru Bandung, dan masih ada beberapa landbank di Bandung, Medan, Palembang, dan Surabaya.
Saat ini, proyek yang sedang dikembangkan dan laku keras adalah Signature Park Apartments yang berlokasi di Jalan M.T. Haryono, Jakarta. Seluruh unitnya, sekitar 661 unit, sudah terjual habis dalam waktu kurang dari setahun. Karena permintaan tinggi, kami meluncurkan proyek tahap kedua yang kami beri nama Signature Park Grande Apartments dengan luas lahan sekitar 4 hektare.
Selain itu, Pikko juga sedang membangun apartemen premium di daerah Simprug, Jakarta Selatan, bernama Botanica Garden Residence. Di luar unit residensial, Pikko juga membangun tower kantor premium di Jalan Sudirman bernama Sahid Sudirman Center. Untuk proyek ini, saya bekerja sama dengan Sukamdani dan Tan Kian.
Intinya, proyek-proyek kami ini banyak yang hasil kerja sama. Di industri properti, sinergi sangat penting. Sinergi kami dengan beberapa mitra sudah terbukti baik, antara lain dengan Grup Lippo, Grup Agung Podomoro, Grup Sahid, Grup Istana, Grup Metropolis, dan Grup Spring Hills.
Nah, ke depan, kami berharap bisa menjaga hubungan baik ini terus sembari mengembangkan proyek-proyek baru secara bertahap. Dalam lima tahun, kami menargetkan kapitalisasi pasar sudah bisa Rp 10 triliun dan masuk di jajaran 10 besar perusahaan properti. Saya memang tak bisa menyebut target pendapatan atau laba, tapi kami ingin tumbuh dua kali lipat setiap tahun.
RODA sebagai senjata
Bagaimana mencapainya? Pertama, tidak hanya akan ekspansif di Jakarta, tetapi juga lebih ekspansif di luar Jakarta, seperti Medan, Surabaya, Palembang, dan Bandung.
Kedua, kami sekarang punya PT Royal Oak Development Asia Tbk (RODA) sebagai senjata agar bisnis bisa lebih ekspansif. Lewat RODA, banyak aksi korporasi yang bisa kami lakukan. Katakanlah, emisi obligasi (penerbitan surat utang perusahaan) atau rights issue (penerbitan saham baru) untuk menambah modal.
Di samping itu, meski masih bisa pinjam bank, jika ada RODA yang sudah merupakan perusahaan publik, jalannya atau banyak cara bisa dilakukan dan lebih fleksibel.
Memang, RODA ini nama baiknya sempat turun sebelum kami akuisisi. Orang bilang perusahaan ini rugi, pendapatan menurun, banyak utang, dan sebagainya. Tetapi, justru saat ini, perusahaan ini menguntungkan bagi kami.
Kalau kami harus listing dan IPO (proses penjualan saham perdana dan menjadi emiten di bursa saham), hal itu makan waktu lama. Ribet dari soal perizinan, menyewa jasa perusahaan untuk membuat perusahaan IPO, dan sebagainya.
Nah, kalau membeli RODA, kami langsung punya perusahaan publik. Yang buruk-buruk kami buang, kami masukkan bisnis yang bagus. Kami divestasi usaha asuransi dan multifinance. Masuk di properti, kami sudah akuisisi delapan perusahaan sepanjang 2011. Tahun ini, kami akan lanjutkan beberapa perusahaan lagi, sekitar lima perusahaan.
Ke depan, untuk memperbaiki citra RODA, kami akan ganti nama menjadi Pikko Land Development Tbk. Bulan Mei nanti kami akan mengadakan rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk meminta izin pemegang saham soal penggantian nama dan laporan arus kas.
Sekarang, berangsur-angsur RODA membaik. Harga saham yang tadinya Rp 50 sekarang sudah Rp 360. Pendapatan juga membaik. Harapan saya, penggantian nama ini bisa memperbaiki citra RODA sebagai penggerak dan senjata bisnis kami.
Setelah penggantian nama, RODA akan menjadi pemilik saham perusahaan-perusahaan yang memegang proyek-proyek Pikko Group. Untung proyek-proyek nanti masuk ke RODA. Kalaupun proyek rugi, nanti juga RODA yang menanggung. Semoga saja tidak rugi. Sebab, tujuan bisnis kan tetap untung yang kita cari.
Nah, kami sudah punya senjata. Strategi berikutnya, yang ketiga adalah fokus pada likuiditas. Bergerak di industri properti, kami akan selalu jaga likuiditas agar kuat jika ada guncangan ekonomi yang mungkin terjadi kemudian.
Keempat, kami juga lebih akan fokus ke efisiensi, mengatur alur produksi dengan baik tanpa mengurangi kualitas layanan dan produk. Anda tahu, industri properti saat ini sudah berkembang ke arah yang sangat dinamis dan personal. Menjual residensial (landed houses atau apartemen) tak bisa hanya sekadar “menjual”. Artinya, customer datang, bayar, dan selesai.
Menjual properti itu menjual “tempat tinggal” di mana seseorang punya harapan tinggi tak hanya terhadap tempat tinggal itu, tetapi juga capital gain atau keuntungan esok hari. Istilahnya, properti untuk investasi. Oleh karena itu, produk harus dibuat sebaik mungkin supaya harapan pembeli terpenuhi.
Properti juga merupakan bisnis jangka panjang. Komitmen dan reputasi adalah kunci keberhasilan. Konsumen perlu dipelihara agar puas dan setia. Kalau ada satu proyek mangkrak, proyek yang lain juga akan terkena dampaknya. Ini masalah kepercayaan.
Untuk itu, dua poin terakhir, menjaga likuiditas dan efisiensi perusahaan dengan menjaga kualitas layanan dan mutu produk sangatlah penting. Yang jelas, apa yang menjadi optimisme kami adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Seiring dengan pertumbuhan Indonesia yang semakin meningkat, pertumbuhan kebutuhan tempat tinggal, iklim usaha yang semakin bertumbuh, didukung oleh instrumen keuangan yang kondusif, kondisi pasar properti jadi bergairah. Kami tak mau ketinggalan dalam merebut peluang ini.
Perubahan pasti akan selalu ada dalam setiap bisnis. Dengan pengalaman didukung kepekaan manajemen, kami yakin akan mampu melihat perubahan yang terjadi, termasuk mengubah hambatan menjadi sebuah peluang baru.
INFO HUBUNGI :
DANNIEL ALVRIESTHA
0812.9606.6823
0857.7765.6663
0857.7765.6663
Pin BB : 7CF37EA5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar